Setelah Lima Tahun

Hari ini, 16 Juli 2021

Lima tahun tiga hari sejak dinyatakan lulus sebagai Sarjana Ekonomi melalui ujian komprehensif di gedung B Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unila. Berbeda dengan keadaan saat itu, saat ini aku duduk di depan sebuah laptop pinjaman kantor memulai tulisan ini, setelah melakukan absensi jarak jauh untuk WFH, dengan pemandangan lalu lintas sebuah flyover di bilangan kota Tangerang. 

Jauh dari kata lega seperti lima tahun silam, sore ini bahkan sejak beberapa hari yang lalu aku sedikit tertekan secara mental, mungkin. Kepalaku secara tidak sadar terus memikirkan banyak hal. Aku yang tadinya seorang dengan pribadi cuek dan suka menyibukkan diri​ menjadi cenderung pendiam. Sesekali ku alihkan perhatianku dengan sibuk berkegiatan di gawai. Namun lama-lama mata ini lelah. Belum lagi aku tidak bisa mencegah informasi apa yang aku temukan di sana, yang lebih seringnya malah membuat aku semakin resah.

Aku mensyukuri setiap hal yang terjadi yang mengantarkan aku bertahan sejauh ini di tanah rantau. Hampir empat setengah tahun ternyata. Berjuang dan bertahan, kalau boleh dibilang seorang diri. Ya, sendiri. Aku sudah berjalan jauh, namun belum jauh dalam hal lain. Apa aku sedang tidak puas dan mengesampingkan semua rasa syukur yang pernah aku hitung? Bukan. Aku baru menyadari bahwa aku lelah berjalan sendirian. 

Kadang aku berharap andai aku punya keistimewaan seperti yang dimiliki beberapa temanku. Dekat dengan keluarga di kota yang dinamis, alangkah nikmatnya. Punya tempat pulang yang nyaman, yang kalau suatu hari aku lelah dan tak bisa menghasilkan aku tidak perlu khawatir karena aku punya penopang. Atau ketika aku terlalu capek memperjuangkan sesuatu, ada tangan-tangan ajaib yang bisa menolong aku. Angan-angan seperti ini muncul karena aku cuma lelah.

Sebuah kutipan homili di cuplikan Misa Online mengatakan, "Hiduplah dalam pengharapan, bukan realita". Mungkin ada benarnya. Jika aku melihat realitaku sekarang aku akan takut mengambil langkah, karena yang aku lihat adalah keterbatasan. Maka aku pilih untuk hidup dalam pengharapan. Aku memberanikan diri mengambil keputusan besar yang terlihat mustahil untuk diselesaikan dengan mudah. Aku berpengharapan Dia akan menolong aku dengan cara-Nya nanti. 

Tapi, untuk saat ini, biarlah aku menyadari bahwa aku sedang lelah, khawatir dan takut. Bahwa aku minta agar Dia melihat kelemahanku dan memberi aku pundak yang kuat. 



Komentar