Menilik Masa Kecil, Menilik Kampung Halaman



Sebenarnya daritadi yang ku kerjain adalah mencoba untuk garap semua tugas akhir semester 5 yang “nggak seberapa banyak itu”. Tiga lagi sih, tapi semuanya dalam bentuk makalah yang serius, bukan makalah ecek-ecek yang kayak biasanya.

Cuma, kurang lebih tiga setengah jam di depan laptop, ketiga-tiganya nggak ada yang kelar.
Seperti yang kutulis di awal tadi, sekarang aku adalah mahasiswa Ekonomi Pembangunan Semester 5 akhir. Kalau dipikir-pikir lagi, nggak nyangka udah jalan sejauh ini. Iya, masa-masa jadi mahasiswa ini penuh warna banget. Semuanya belajar mandiri. Beda banget dengan jaman sekolah. Jam belajar di kelas memang lebih sedikit dan nggak terpaku harus dimulai dari pagi. Bisa dibilang fleksibel. Tapi tingkat stres-nya jauh lebih berat dari jaman sekolah. Jadi mahasiswa ini lebih cenderung “dibebaskan”, asal siap dengan segala resikonya. Kita bebas mau punya banyak aktivitas, mau bolos kuliah, mau numpang nebeng nama di tugas kelompok, mau tidur di kelas pun oke. Tapi justru “kebebasan” ini bikin kita ketagihan. Ketagihan buat menomorduakan kuliah, ketagihan buat nunda-nunda tugas, ketagihan buat santai, sampai akhirnya kita keteteran sediri.

Kemudian, pikiranku melayang jauh ke masa sekolah dulu, jaman yang penuh aturan dan batasan, jaman yang terjadwal. Bahkan jaman yang menurutku jaman yang super monoton, karena kehidupannya terbatas disitu-situ aja, orang yang ditemuin pun itu-itu aja, dengan kegiatan yang begitu-begitu aja. Wajar sih, masa sekolah aku habis-totalkan di Liwa. Lahir sampai SMA di sana, teman-teman dari TK pun masih sama sampai SMA. Mungkin karena dulu jarang banget ada “sirkulasi kenalan baru”, awal kuliah aku kurang bisa berbaur, karena jujur aku nggak tau gimana caranya berbasa-basi untuk dapat kenalan baru.

Setelah aku renungin lebih jauh lagi, ternyata di kota yang monoton itu tersimpan banyak kenangan yang nggak bisa kuulang lagi. Iya, aku lagi mellow. Coba dibayangin dulu, kamu yang udah menghabiskan lebih dari 17 tahun hidupmu di kampung halaman kemudian merantau untuk sekolah di kota, dengan harapan kualitas hidupmu akan terus meningkat, ini artinya kamu akan terus menetap di kota itu atau bahkan kamu akan ke kota yang lebih jauh dan lebih besar lagi. Pernah terpikirkan nggak, kira-kira kapan ya kamu bisa pulang ke kampung halamanmu untuk jangka waktu yang cukup lama, katakanlah tiga bulan, dan mengulang semua kegiatan masa kecilmu? Mengulang kegiatan mu di rumah, lengkap dengan kedua orang tua dan adik/kakak tanpa target-target yang bikin kamu stres? Mengulang masa-masa bermainmu dengan teman-teman akrab, lengkap tanpa ada personil yang hilang?

Hmm, sebenarnya ini bukan berarti aku mau balik lagi ke kehidupan lama. Bukan berarti ini ngebuat aku nggak mau melangkah lebih jauh ke kota yang “jauh” itu. Kadang kita memang harus menikmati momen yang ada sih. Tapi merindukan masalalu itu nggak salah kan? Apalagi masa di saat kita masih di hadapan orang tua kita.
Oke, aku ngaku. Aku lagi lumayan sedih. Semenjak semester 4 aku udah jarang pulang. Komunikasi dengan mereka pun berkurang. Kesannya sombong. Pulang pun Cuma beberapa hari, bahkan beberapa jam, dan itu nggak setiap libur pendek bisa pulang. Ditambah lagi personil di rumah yang nggak lengkap.

Iya sih memang baru setaun ini aja jarang pulang. Tapi firasatku mengatakan akan sangat sulit buat aku pulang lagi. Bahkan momen yang tepat pun belum tentu bisa memulangkan aku ke sana. Aku takut semakin disibukkan oleh kewajiban. Okelah kalau jarak perantauan dan rumahku harus ditempuh selama lebih dari satu hari, aku ikhlas buat jarang pulang, ini Cuma tujuh jam!

Balik lagi tentang kota yang monoton ini, Liwa. Kadang rindu juga sama beberapa hal yang biasanya kami lakuin di sana. Hal-hal ini memang ada juga di kota, tapi kesan yang ditimbulin beda banget.
Aku kangen saat-saat ikut orang tua arisan, ke mana pun kami harus ikut, walaupun ujung-ujungnya disuruh nyuci piring. Kangen ikut acara natalan marga dimana orang-orangnya kami kenal. Kangen pergi kebaktian malam, terus selesai kebaktian ngobrol-ngobrol sama mereka. Kangen berlama-lama di gereja sepulang Ibadah untuk sekedar ngobrol atau latian koor. Kangen bolak-balik rumah—gereja untuk persiapan kegiatan. Kangen kongkow-kongkow di warung tenda dengan modal patungan.

Ingat juga dulu waktu kecil sering ikut mama jalan sore untuk nagih uang air, terus mampir buat makan bakso. Kalau mama lagi pilek, biasanya dia ngajak makan Mie ayam karena dia butuh sesuatu yang pedas biar pileknya selesai. Inget juga sering dianter-jemput bapak. Kalau hujan, bapak jemputnya pakai terpal biru yang disulap jadi jas hujan.

Kalau salah satu dari kami ada yang ulang tahun, biasanya bakal ngerayu mama buat beli martabak, atau roti panggang, atau bikin bolu. Momen malas-malasan di depan TV sambil selimutan rame-rame juga patut dikangenin.

Ikut mama ke pasar, dan di pasar ngerayu dia buat beli kue, atau baju yang bagus. Kalau di sini, aku nggak berani ngerayu buat jajan.


Semua hal simpel begini yang nggak tau kapan lagi diulang. Jatah tinggal di rumah itu udah nggak sebanyak dulu lagi.

Komentar